Jibril telah datang kepadaku dan
berkata: Hai Muhammad hiduplah sesukamu, tapi sesungguhnya engkau suatu
saat akan mati, cintailah apa yang engkau sukai tapi engkau suatu saat pasti
berpisah juga dan lakukanlah apa yang engkau inginkan sesungguhnya semua itu
ada balasannya. (HR.Baihaqi dari Jabir)
Beberapa orang insan perfilm-an
belum lama ini menuntut untuk dibubarkannya badan sensor film nasional. Mereka
menganggap sensor film dan karya seni lainnya melanggar hak asasi mereka dalam
berekspresi. Mereka menganjurkan, biarkan masyrakat /pasar memilih apa yang
akan mereka tonton. Biarkan masyarakat kita melindungi dirinya sendiri dari
dampak negatif yang ditimbulkan. Jangan mengorbankan hak berekspresi , karena
itu akan membelenggu kreativitas.
Setidaknya, jargon kebebasan, hak
asasi, hak dalam berekspresi menjadi suara seragam dari orang-orang yang ingin
membuka keran kebebasan sebebas-bebasnya. Mereka begitu kuat karena didukung
oleh kekuatan industri yang menikmati hasil dari kebebasan tersebut. Terbukti
untuk menggolkan RUU anti pornografi dan pornoaksi susahnya bukan main.
Memberangus sebuah majalah porno saja sampai harus berdemo berkali-kali dan
hasilnyapun tidak maksimal.
Atas nama kebebasan pula, banyak
orang terjerumus dalam kehidupan hedonis. “Hidup semau gue, yang penting gue
seneng, jangan ikut campur urusan orang!”. Ada pula slogan anak muda sekarang, “kecil
dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga”.
Islam sangat menghargai kekebasan, dalam arti yang sebenar-benarnya.
Kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan dalam mengelola harta
kekayaan, kebebasan menjalankan kehidupan dan lain sebagainya. Namun kebebasan
yang dimaksud dalam Islam tentu saja kebebasan dalam koridor/frame yang sesuai
dengan syariat, Sebagaimana kebebasan dalam hukum positif manusia, bukan
kebebasan tidak tak terbatas, namun kebebasan yang tidak boleh melanggar
kebebasan dan hak orang lain.
Hadits diatas, sungguh sangat
dalam maknanya dalam frame kebebasan manusia dalam Islam. Hiduplah sesukamu,
namun ingat suatu saat kita akan mati.
Manusia diberikan kebebasan untuk
menempuh kehidupannya. Manusia dipersilahkan hidup didunia dengan caranya
masing-masing. Namun ada frame yang harus dibangun dan disadari, bahwa ,
kehidupan didunia bukanlah kehidupan abadi. Banyak orang lupa, banyak orang
terlena, banyak orang tertipu dengan kehidupan dunia karena sering melupakan
kematian.
Sebagai ummat Islam, kita selalu diingatkan tentang kematian. Dunia ini
adalah sementara, dunia ini seperti tempat persinggahan seorang musafir yang
sedang menempuh perjalanan, kehidupan dunia ini sangat amat sebentar,
sering-seringlah berziarah kubur sehingga kita ingat mati, begitu inti beberapa
hadist nabi tentang dunia.
Kembali pada hadist tadi, ketika kita ingat akan mati yang dapat datang
kapanpun Allah berkehendak, maka, apakah kita masih ingin hidup sesuka hati
kita, sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan syariat dari Allah SWT.? Masihkan
kita begitu sombong untuk hidup seenaknya, atas nama kebebasan, padahal mungkin
besok, satu jam lagi, satu menit lagi, bahkan satu detik lagi kita mungkin akan
mati?
Islam sebagai agama yang fitrah pun menghargai kebebasan untuk mencintai
sesuatu yang ingin kita cintai. Cinta adalah karunia dari Allah kepada manusia.
Ia merupakan fitrah manusia yang indah. Manusia boleh mencintai anak, mencintai
istri, mencintai harta, suka dengan kendaraan yang mewah, rumah yang bagus, dan
lain sebagainya. Namun sekali lagi semua ada batasnya. Cinta dapat mendorong
orang melakukan hal-hal yang kadang irrasional, bahkan diluar kemampuannya.
Oleh karena itulah , cinta dalam islam diberikan frame. Hadis tadi begitu indah
menberikan batasan. Anda boleh cinta dengan harta anda yang begitu berlimpah,
namun setinggi-tingginya cinta anda, harta itupun akan berpisah dengan anda.
Hanya selembar kain yang akan menemani anda sampai kedalam kubur. Anda boleh
cinta kepada anak Istri anda, namun mereka akan meninggalkan anda, atau anda
yang akan meninggalkan mereka. Anak, Istri, rumah, harta, jabatan, semua akan meninggalkan anda atau akan
anda tinggalkan.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman teramat
sangat cintanya kepada Allah “.
Cinta pada Allah, adalah cinta yang sebenarnya tanpa batas. Seorang yang
dicintai dan mencintai Allah, tidak akan merasa meninggalkan atau ditinggalkan.
Namun cinta kepada Allah menuntut konsekuensi untuk selalu meletakkan
kepentingan dari Allah diatas segalanya. mengalahkan kepentingan dunia,
mengalahkan harta, mengalahkan anak dan istri, bahkan mengalahkan diri kita
sendiri. Ketika Allah SWT menuntut kita atau ketika sesuatu yang kita cintai
bertentangan dengan syariat dari Allah, maka orang beriman akan mendahulukan
kepentingan dari Allah, karena cintanya kepada Allah SWT.
Manusia juga diberikan kebebasan untuk melakukan apapun yang dia kehendaki.
Namun, tentu kebebasan untuk melakukan suatu perbuatan itupun mempunyai frame
yang jelas.
“Lakukan sesuatu yang engkau ingin lakukan, namun ingatlah, semua
perbuatanmu itu ada balasannya”.
Hidup ini sungguh sangat bernilai bagi kita. Semua yang kita kerjakan,
sedikit apapun, seremeh apapun, sekecil apapun, semua ada balasannya. Allah berfirman dalam surah Al-Zalzalah ayat 7-8.
“Barang
siapa yang berbuat kebaikan sekecil Zarrah pun, maka Ia akan menuai balasan
yang baik, dan barang siapa yang berbuat kejahatan sekecil zarrah pun, maka ia
akan menuai balasan yang setimpal”.
Bagi kita, bahkan senyum menjadi satu amal
baik sebagaimana menyingkirkan aral di jalanpun bernilai pahala. Begitupun
perbuatan buruk. Seorang muslim yang bersih hatinya, akan melihat satu
perbuatan buruk sekecil apapun bagaikan melihat gunung yang akan menimpanya.
Kebebasan dalam berbuat, bukanlah kebebasan berbuat seenaknya. Kebebasan
berbuat disertai tanggungjawab dan beban moral bahwa sesungguhnya perbuatan
kita pastilah ada balasannya.
Jika semua perbuatan kita, sekecil apapun, kelihatan atau tidak kelihatan,
baik atau buruk, selalu dibalas oleh Allah SWT , apakah kita masih ingin
berbuat semaunya, tanpa menghiraukan mudharat dan akibatnya?
Akhirnya, ada yang perlu kita renungkan dari hal-hal diatas. Semua kita pasti akan mati, sehingga
mengapa kita ingin hidup semau kita, seakan-akan dunia adalah tujuan akhir
kita. Semua yang kita cintai dan mencintai kitapun akan kita tinggalkan dan
meninggalkan kita, sehingga mengapa tidak kita memberi cinta tertinggi kita
kepada Allah SWT. Semua amal perbuatan kita selalu akan ada balasannya,
sehingga mengapa tidak kita berbuat sebaik-baiknya agar kehidupan kita lebih
bermakna, dan timbangan amal baik kita selalu bertambah.
Masih adakah yang ingin hidup bebas seenaknya...? seakan-akan hidupnya tidak
dipertanggungjawabkan, amalnya tidak dihitung, umurnya bisa diatur sesukanya ?
Wallahu a'lam bishshawab
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih Anda telah mengunjungi blog saya