Perkembangan
pemikiran Islam berjalan seiring dengan berkembangnya kaum Muslimin. Berbagai
masalah timbul dan terjadi membutuhkan pemecahan. Pada abad-abad awal sejarah
perkembangan Islam tidak banyak diwarnai peninjauan ulang terhadap berbagai
pemikiran. Tetapi, setelah abad ketiga dengan diadopsinya filsafat Yunani oleh
para intelektual Muslim menjadikan babak baru bagi perdebatan pemikiran Islam
yang melahirkan banyak tren pemikiran.
Perjalanan
pemikiran Islam itu juga dipengaruhi oleh naik turunnya kekuasaan pada abad
ke-15. Pada abad itu terjadi kemerosotan pemikiran Islam serta ditandai oleh
kejumudan berpikir, sehingga kekuasaan para penjajah menjadi kuat di hampir
semua negara Islam yang terjajah. Di samping itu, para penjajah ini juga
membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk menyingkirkan atau
paling tidak mendistorsi pemikiran Islam. Karena itu, terjadi penurunan
pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada
yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka. Kelompok
ini disebut oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif. Sedangkan anti
tesa dari kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam
pemikiran Islam sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran
modern yang nota bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan
kelompok yang berpandangan liberal (Islam Liberal).
Istilah
Islam Liberal
Para orientalis
Barat berbeda pendapat ketika menilai Islam. Charles Kurzman mencatat sejumlah
tokoh yang menilai Islam secara pesimis, seperti Voltaire (1745) dalam Mahomet
of Fanaticism menilai bahwa Islam identik dengan kefanatikan. Dalam
terminologi politik, kekuasaan Islam berarti dispotisme
(kesewenang-wenangan), kata Montesquie. Demikian juga Francis Bacon (1622) yang
mengidentikkan kekuasaan Islam dengan monarki absolut. Sedangkan di bidang
militer Islam identik dengan teror, seperti diungkap oleh Eugene Delacroix
(1824). Bahkan, sastrawan Ernest Renon (1862) berpendapat bahwa tradisi Islam
identik dengan keterbelakangan dan primitif.
Menurut
Kurzman, pada umumnya membicarakan Islam Liberal berarti membandingkannya
dengan liberalisme Barat yang intinya pada daya kritisnya, meskipun terdapat
perbedaan di antara keduanya. Karena, liberal Islam masih berpijak kepada
Al-Qur'an dan hadits serta sejarah Islam. Adapun menurut Prof. William Montgomery
Watt, istilah Islam menunjuk kepada kaum Muslimin yang menghargai pandangan
Barat dan merasa bahwa kritikan terselubung atau terang-terangan terhadap Islam
sebagiannya dapat dibenarkan. Mereka memandang dirinya sebagai umat Islam dan
berkehendak menjalani kehidupannya sebagai Muslim. Istilah liberal Islam
identik dengan kalangan modernis dan neo Mu'tazilah.
Perkembangan
Islam Liberal
Islam
Liberal bagi Kurzman sama seperti kaum pembaharuan yang menyerukan kepada
modernitas dan meninggalkan keterbelakangan masa lalu serta menyerukan kapada
pengembangan teknologi, ekonomi, demokrasi, dan hak-hak resmi. Para tokoh
pembaharuan yang disebut-sebut berpengaruh adalah Muhammmad bin Abdul Wahhab
dari Arab Saudi, Syaikh Jibril bin Umar al-Aqdisi dari Afrika Barat, Haji
Miskin dari Sumatra, Haji Syariat Allah dan Ahmed Brelwi dari Asia Selatan dan
Ma Ming Xin dari Cina. Tetapi, pengaruh Islam Liberal yang paling kuat dari
pembaharuan India
yang bernama Shah Wali Allah Addahlawi (1703-1762). Sedangkan Montgomery Watt
memandang bahwa Islam Liberal bermula pada abad ke-19 sampai masa kemerdekaan
(1945).
Tokoh-Tokoh
Islam Liberal
Para tokoh
Islam Liberal yang paling menonjol dan banyak dicatat oleh para penulis Barat
adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dari India. Ia melihat bahwa perlakuan
Inggris terhadap kaum Muslimin di negaranya sangat sengsara dan diperlakukan
tidak adil. Sementara, warga hindu dianak-emaskan. Sebagai contoh di kota Bengal,
departemen-departemen pemerintahan diletakkan para insinyur, akuntan, dan pegawai
lainnya dari warga Hindu. Sementara, warga Muslim satu dua orang dari 300 anak
di perguruan tinggi Inggris di Calcutta tidak sampai 1% adalah orang-orang
Muslim. Maka, Ahmad Khan menulis buku untuk disampaikan kepada pemerintah
Inggris di India
atas berbagai perlakuan ketidakadilan dan perbuatan semena-mena yang
menyebabkan kebencian warga Muslim kepada Inggris. Sampai pada saatnya tahun
1869 Sayyid Ahmad Khan umurnya sudah 52 tahun, ia pergi menemani anaknya yang
sekolah ke Inggris. Keberangkatannya itu bermaksud untuk mengumpulkan bahan
guna membantah para tokoh orientalis Inggris yang menyudutkan sejarah Nabi
Muhammad saw., sampai selesai tulisan berjudul Essays on the Life of
Muhammad yang berbau apologis. Namun, tak lama kemudian buku itu diungguli oleh
tokoh liberal India
bernama Sayyid Amir Ali (1849-1928). Namun demikian, Sayyid Ahmad Khan telah
berhasil memompa semangat kaum Muslimin dengan membujuk mereka mengambil
kebijaksanaan bekerja sama dengan Inggris. Upaya ini melibatkan penerimaan
nilai-nilai Barat hingga taraf tertentu. Karena, secara tidak langsung
dinyatakan bahwa generasi muda Muslim akan memasuki sekolah-sekolah yang
dibangun guna mendidik mereka menjadi abdi negara. Salah satu prestasi Ahmad
Khan adalah pembukaan suatu kolase pada 1877 yang menjadi cikal bakal
Universitas Al-Iqrah yang resmi berdiri pada 1920.
Adapun
Sayyid Amir Ali dengan bukunya yang terkenal The Spirit of Islam dalam
edisi Indonesia berjudul Api Islam itu pada hakikatnya merupakan suatu
pandangan tentang Islam dan pembawaannya yang mewujudkan seluruh nilai liberal
yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali berpandangan bahwa
Muhammad adalah "guru agung'' seorang yang percaya kepada kemajuan, yang
menjunjung tinggi penggunaan akal, dan bahkan pelopor agung rasionalisme, yaitu
seorang manusia yang benar-benar modern. Islam dipandang sebagai agama paling
ideal, yang menanamkan suatu kepercayaan yang besar kepada Tuhan dan menekankan
kesucian moral serta kode etik yang tinggi. Perang-perang yang dilakukannya
semata-mata bersifat defensif yang mengangkat martabat wanita, memperbaiki
nasib para budak, dan mencela perbudakan yang menganjurkan pengetahuan dan ilmu
serta menegaskan tanggung jawab manusia dan karsa bebasnya.
Di Sudan,
muncul Sadiq al-Mahdi sebagai figur politik yang mendukung gagasan Islam
Liberal. Ia menghendaki islamisasi yang lebih luas, tetapi bukan dengan jalan
membentuk masyarakat masa kini dalam cetakan intelektual dan sosial generasi
Islam yang menganggap bahwa syari'ah cukup lentur untuk mengizinkan hal ini.
Caranya yaitu melampaui madzhab-madzhab hukum Islam dan hanya terikat pada
Al-Qur'an dan sunnah serta mampu mengatasi kondisi-kondisi masa kini.
Perjuangan itu selanjutnya dikembangkan oleh Dr. Hassan Turabi yang kemudian
mengahadapi tantangan hebat dari para ulama setempat seperti Dr. Syaikh Ja'far
ldris, Amir al-Haj, dll.
Keberhasilan
kaum Islam Liberal yang paling menonjol adalah di tangan Mustafa Kamal Ataturk
(l924) yang mengubah pendidikan Islam tradisional menjadi ala Barat, bahkan
melarang pengajaran bahasa Arab sampai-sampai adzan pun tidak diperbolehkan
menggunakan bahasa Arab tetapi dikumandangkan dengan bahasa Turki. Suara
penolakan khilafah Islamiah sebagai institusi pemerintahan Islam digugat oleh
Ali Abd. Raziq (1925) dari Mesir. la mengkritik keabsahan kekhalifahan, tetapi
juga mempertanyakan dasar-dasar kekuasaan dalam Islam.
Di Indonesia
gagasan Islam Liberal diteliti oleh Dr. Greg Barton yang ditulis dalam
disertasi doktornya di Monash University, Melbourne,
Australia. Penelitian
ditekankan mulai tahun 1960 sampai 1990. Gerakan dan pemikiran ini telah
memelopori perkembangan lslam Liberal yang disebut neo-modemisme Islam yang
telah berpengaruh pada tataran keagamaan, sosial, dan politik. Gerakan ini
secara luas tumbuh di lingkungan para intelektual yang memiliki latar belakang
modern, yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam klasik. Kemunculannya di
Indonesia merupakan pendorong bagi terbitnya kebangkitan baru satu generasi
Muslim, terutama kelas menengah kota,
sehingga mampu berperan secara lebih liberal dan progresif untuk sebuah
Indonesai baru. Disertasi itu memfokuskan kepada empat tokoh penarik gerbong
Islam Liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dr. Nurcholis
Majid, Johan Efendi, dan Ahmad Wahid. Barton mencoba menempatkan mereka dalam
konteks globalisasi dan modemnisasi yang lebih luas.
Analisa
Pokok-Pokok Pemikiran Kaum Islam Liberal
Tema sentral
dari pokok-pokok pemikiran kaum Islam Liberal adalah rasionalisasi dan
modernisasi terhadap Islam selain masalah gender, kepemimpinan wanita, dan
kemajuan ilmu pengetahuan, serta tak jarang menuju kepada sekularisasi.
Kalau kita
amati, lahirnya pemikiran para tokoh kaum Islam Liberal itu disebabkan karena
beberapa hal.
1. Faktor penjajahan panjang yang
menyebabkan keterbelakangan umat Islam di segala bidang.
2. Faktor kebodohan dan kejumudan
umat Islam yang mengakibatkan setagnasi pemikiran dan keterbelakangan
pendidikan.
3. Apa yang mereka saksikan dari
pengamatan langsung ke dunia Barat. Mereka sampai terkesima melihat kemajuan
Barat. Hal ini melahirkan sikap untuk membawa umat Islam ke arah kemajuan
Barat, yang tidak jarang mereka sikapi dengan apologi yang berlebihan.
Pada
hakikatnya ada titik-titik kelebihan dan kelemahan pada pemikiran kaum Islam
Liberal. Titik kelebihan yang menonjol bahwa mereka telah merangsang
kebangkitan kaum tradisionalis untuk bangkit berijtihad dan melakukan berbagai
perubahan. Tetapi, titik-titik kelemahannya cukup banyak. Paling tidak sikap
reaktif mereka terhadap kenyataan tidak dibarengi dengan implementasi riil yang
dapat dirasakan oleh umat secara luas. Juga, tidak jarang lebih banyak bersifat
teoritik dan mencibir serta apologetik dan berbangga diri sehingga melahirkan
arogansi intelektual.
Dalam
struktur Islam di Indonesia, kaum Islam Liberal termasuk pembawa bendera Islam
substantif untuk berhadapan dengan kelompok Islam lain, yaitu kelompok Islam
formalistik dan kelompok Islam fundamentalis atau konservatif. Dalam tatanan
pemerintahan kelompok Islam formalistik nampak pada corak pemerintahan Orde
Lama, Orde Baru dan pemerintahan Habibie. Sedangkan kelompok Islam sustansif
nampak dalam pemerintahan Gus Dur. Dan keduanya telah gagal, sehingga
kesempatan terakhir pada kelompok Islam ketiga, yaitu fundamentalis yang
sekarang lagi getol-getolnya menuntut pelaksanaan syariat Islam di Indonesia
atau melalui otonomi khusus/daerah.
Dari segi
pemikiran, perguruan-perguruan tinggi, terutama Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), adalah tempat subur berkembangnya aliran pemikiran Islam Liberal dan
nampak sangat kebarat-baratan. Wallahu a'lam.
Referensi:
1. Alam Pikiran yang Disebut
Modern di Yunani dan Pakistan, H.A. Mukti Ali
2. Fundamefitaliismee Islam dan
Modernitos, William Montgomery Watt, terjemah Tauflk Adna Arnal, Raja
Grafindo, Jakarta
3. Gagasan Islam Liberal di
Indonesia, Greg Barton
4. Islam dan politik, M. Dim
Shamsudin
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih Anda telah mengunjungi blog saya