Di sebuah halte bus, Aku melihat Seorang Akhwat yang rupanya
sedang kebingungan. Sesekali ia melihat ke jam tangannya, seperti sedang
menunggu seseorang.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami”
jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar
lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana
mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya
“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan apa yang
meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat
seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam
yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh
menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu
cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa
menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan
didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan
nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti
bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari
kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali
ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya
juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata,
“abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam
23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah
hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang
bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di
cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing
tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba
mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas
sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya
teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan
air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya
terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya,
membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di
usapnya.
Ukhty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh
dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam
itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya
miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu
memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil
jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil
ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan bisa dimanfaatkan untuk keperluan kita dan anak-anak kita.
Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti
bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang
diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga
wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi,
tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang
tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan
saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja
. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya.
Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya,
bahkan rela meninggalkan pekerjaan
Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga
untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang
yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun
penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita
santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah
tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat
melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih memilih dari
keluarga miskin yang penghasilannya kurang.
Ukhty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis
bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi
saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia
maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat
itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang
senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya
untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di
hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat
orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan
berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya
juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya
tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah
itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu
menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan
pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa
malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang
membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika Ukhty mendapatkan suami
seperti saya, Ukhty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami Ukhty
pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya,
dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang
haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas
laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan
dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi
kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam,
meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu
redha.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku. pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku.
1 comments:
Subhaanallaaah ......... !!! MANTAB ^_^
Posting Komentar
Terima kasih Anda telah mengunjungi blog saya