Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut
sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang
yang amat merindukan sang kekasih, tapi sayang ternyata ia datang
tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.
Seperti penagih hutang
yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin
mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari,
ada tak disyukuri.
Dari jahil Kita disuruh
berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Kita dituntut beramal
dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH
atasmu.
Tersanjungkah Kita yang pandai berbicara tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak
air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiyam atau kedalaman munajat
dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah Kita
dengan licin lidah bertutur, sementara dalam hati kita tak ada apa-apa. Kita kunyah
mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa Kita
adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa
rasa ngeri.
Bagaimana Abu Bakar As-Shidiq
r.a. selalu gemetar saat dipuji orang. Beliau selalu berdo’a "Ya
ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum
aku karena ucapan mereka dan ampunilah diriku lantaran ketidaktahuan
mereka", ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras
dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan
tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya,
bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim
amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu
merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau
ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan
tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kita letakkan
diri kita sendiri? Saat kecil, Kita begitu takut gelap, suara dan segala yang
asing. Begitu kerap Kita bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan
ilmu makin bertambah, Kitapun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa
gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari Kita
hidup dalam lumpur yang membunuh hati kita sehingga getarannya tak terasa lagi
saat ma'siat menggodanya dan Kita meni'matinya?
Malam-malam berharga
berlalu tanpa satu rakaatpun kita kerjakan. Usia
berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada
ALLAH-pun tiada, dimana kau kubur dia ?
Di luar sana rasa malu
tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul
majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000
remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku
telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar
nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin Kita mulai berfikir "Jamaklah,
bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila Kita laki-laki atau sebaliknya
di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon
dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan ckita
jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.
Kemana getarannya yang
gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala
"kesombongan jahiliyah dan maksiat"?
Saat kau muntah melihat
laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu
yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan
dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka
tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku
saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak
islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara Kita
dengan diri kita sendiri, tak ada ALLAH disana? Sekarang kau telah jadi kader
hebat, tidak lagi malu-malu tampil.
Justru Kita akan
dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tangan kita dari jabatan tangan
lembut lawan jenis yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan
massa.
Semua gerak harus
ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang,
walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah Kita, jika
bidikan kita ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter
dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam,
sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.
Siapa yang mau
menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada
seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar
hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku
dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa
rasa bersalah?
Siapa yang akan memandang
ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi
lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah
ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah Kita
juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai
'alimullisan (alim di lidah)? Apa kita fikir sesudah semua kedangkalan ini kita
masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?
Apa beda seorang remaja
yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan
dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kita andalkan penghormatan masyarakat awam
karena status kita lalu kita serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh
retorika yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa Kita ini? Pernah anda
lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Lihatlah langkah mereka
di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan
banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa
"westernnya" . Kita akan menjadi fasih dalam berdebat dan tangguh
saat Kita tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa
Amerikanya aku".
Memang, soalnya bukan
Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah Kita punya harga diri. Mahatma
Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah
lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke
kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta
api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.
Kini datang
"pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan
pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang
asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita
tentang hiruk pikuk pesta dunia yang Kita ikut mabuk disana. "Kita adalah
penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku
bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"
Inilah kematian hati,
kematian yang tak pernah kita pikirkan, kematian nilai dan norma. Akankah kita
terus berada dalam kematian yang berkepanjangan, kematian yang menguras energi
kita tanpa kita menyadarinya dengan segala keindahan semu? Ataukah kita akan
berada dalam kebahagiaan yang menyiksa hawa nafsu namun menentramkan dan
menghidupkan HATI kita?
Hidup ini adalah pilihan,
maka bijaklah dalam memilih kehidupan ini. Diantara dua jalan yang kita lalui
jalan manakah yang akan kita pilih.
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih Anda telah mengunjungi blog saya