Artikel Terbaru :

KETIKA HATI SUDAH MATI

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan sang kekasih, tapi sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil Kita disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Kita dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah Kita yang pandai berbicara tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiyam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah Kita dengan licin lidah bertutur, sementara dalam hati kita tak ada apa-apa. Kita kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa Kita adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Bagaimana Abu Bakar As-Shidiq r.a. selalu gemetar saat dipuji orang. Beliau selalu berdo’a "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah diriku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.

Dimana kita letakkan diri kita sendiri? Saat kecil, Kita begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap Kita bergetar dan takut.

Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, Kitapun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari Kita hidup dalam lumpur yang membunuh hati kita sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodanya dan Kita meni'matinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kita kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH-pun tiada, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin Kita mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila Kita laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan ckita jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?

Saat kau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara Kita dengan diri kita sendiri, tak ada ALLAH disana? Sekarang kau telah jadi kader hebat, tidak lagi malu-malu tampil.

Justru Kita akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tangan kita dari jabatan tangan lembut lawan jenis yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah Kita, jika bidikan kita ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah Kita juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kita fikir sesudah semua kedangkalan ini kita masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kita andalkan penghormatan masyarakat awam karena status kita lalu kita serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorika yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa Kita ini? Pernah anda lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.

Lihatlah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya" . Kita akan menjadi fasih dalam berdebat dan tangguh saat Kita tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku".

Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah Kita punya harga diri. Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang Kita ikut mabuk disana. "Kita adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"

Inilah kematian hati, kematian yang tak pernah kita pikirkan, kematian nilai dan norma. Akankah kita terus berada dalam kematian yang berkepanjangan, kematian yang menguras energi kita tanpa kita menyadarinya dengan segala keindahan semu? Ataukah kita akan berada dalam kebahagiaan yang menyiksa hawa nafsu namun menentramkan dan menghidupkan HATI kita?

Hidup ini adalah pilihan, maka bijaklah dalam memilih kehidupan ini. Diantara dua jalan yang kita lalui jalan manakah yang akan kita pilih.

Wallahu’alam

0 comments:

Posting Komentar

Terima kasih Anda telah mengunjungi blog saya

 
 
 

Selamat Datang

Terima kasih anda telah mengunjungi kami

Jumlah Kunjungan

SANG PEMIMPI

Label

Diberdayakan oleh Blogger.